![]() |
Ilustras: Pixabay.com |
Oleh : Ersyad Mamonto - Penggerak Gusdurian Gorontalo
Opini - Sebagai orang di daerah paling utara di Sulawesi Utara, saya banyak menyaksikan hidup yang begitu beragam dan indah. Patutlah daerah ini terkenal dengan semboyan, “Torang samua basudara”, yang merekatkan masyarakat dengan penuh cintah kasih. Meskipun seperti manusia pada umumnya, tentu ada pertengkaran, tapi itu tidak besar dan merusak sendi-sendi persaudaraan yang tidak mengenal teritori agama.
Secara intens saya merasai bagaimana hidup bertetangga, punya bnyak teman yang berbeda agama dan suku, yang membuat saya betah menghirup udara di negeri penghasil kopra ini. Pengalaman itu misalnya, orang yang saya panggil Opa (Muslim), Merupakan seorang montir panggilan. Ia lama tinggal di Manado dengan mayoritas Kristen. Opa tidak mempunyai bengkel tetap, tapi pelanggan pengguna jasanya akan menunggu di rumah untuk meperbaiki kendaraan bermotor.
Satu kali waktu Opa memperbaiki motor butut saya. Motor ini usianya sudah sepuluh tahun, jika disekolahkan setahun lagi motor tersebut akan masuk Sekolah Menengah Pertama.
Singkat kata, Opa mengalami kesusahan untuk memperbaiki mesin motor tersebut, hinga muncul komentar “Oh, Tuhan Yesus. Kenapa dengan benda ini ?” Langsung perhatian saya terfokus pada kalimat yang dilontarkan Opa.
Di kejadian yang berbeda, saya pernah bertetangga dengan seorang Gadis Kristen. Tepatnya, saya tinggal di sebuah kabupaten Bolaang Mongondow Utara di Kecamatan Bintauna, daerah dengan mayoritas Muslim.
Karena tinggal di daerah mayoritas Muslim, tak jarang si gadis melontarkan kalimat tauhid “lailahailallah” apabila sedang antusias untuk menanggapi satu hal.
“Lailahailallah, bukan seperti itu !”, “Lailahailallah ayo dong !” dan ada banyak lontaran kalimat lainnya yang sama.
Biasanya hal yang paling umum pada peristiwa seperti ini adalah memepertanyakan batas keimanan masing-masing. Apakah masih menjadi Muslim bagi si Opa, atau Kristen untuk si Gadis? Sebab kedua kalimat ini menjadi titik pembeda bagi teologi masing-masing.
Masih lekat di ingatan, setiap natal, komunitas Muslim kerap memberikan ucapan “Selamat hari natal” kepada saudara-saudara umat Kristiani. Ucapan yang sebenarnya bagian dari muamalah dalam Islam ini, kerap digeser ke ranah akidah atau teologi oleh orang-orang yang tak sepakat dengan hal tersebut. Akhirnya suasanapun dibuat ribut.
Menjembatani dengan Selow Hati
Opa dan si gadis menjalani hari dengan riang gembira, dengan Opa yang kerap menggunakan kalimat “Tuhan Yesus” dan si gadis dengan kalimat “Lailahailallah”. Belum pernah ada tetangga atau pemuka agama setempat meributkan hal tersebut dengan alasan terpengaruh misionaris dari masing-masing agama.
Mengenai hal ini tidak ada bayangan ribut-ribut seperti ucapan hari natal, apakah alasannya karena ini tidak diketahui publik ? Tentu tidak ! Ini sudah menjadi hal yang umum diketahui di daerah saya. Lantas apa resepnya sehingga tidak ada ribut-ribut, padahal dua kalimat ini menjadi hal yang paling penting bagi teologi masing-masing agama.
Selain memang masyarakat Sulawesi Utara pada umumnya adalah masyarakat yang plural, sehingga hidup berdampingan dengan yang berbeda dan saling mengerti telah mengakar, bagi saya ada hal yang menjadi alasan lain untuk tidak meribetkan sesuatu. Yaitu, tipikal kami di Sulawesi Utara sebagai orang yang selow, senang bercanda satu dan lainnya merupakan kuncinya.
Semasa kecil, bahkan sampai sekarang, setiap ada hari-hari besar keagamaan, teruatama Kristen yang mempunyai natal dan Islam dengan idhul adha atau idhul fitrinya, kerap “baku gara”. Baku gara kurang lebih seperti saling meledek. Tapi ledekan itu bukan untuk menjatuhkan, melainkan membangun semangat bersama.
Indri misalnya, teman SD saya. Seorang perempuan Kristen yang kini hari-harinya dihabiskan untuk melayani gereja. Apabilah telah idhul fitri biasanya Indri akan berpesan kepada saya sebagai Muslim, “Sad, jangan lupa kue setoples. Torang (kami) mo serang di rumah, siap sedia saja”
Atau saat natal kadang kami yang muslim mengapresiasi pohon natal dihias dengan lampu-lampu yang memanjakan mata.
“ Eh, bagus sakali pohon natal ini, beli di mana ?” Setelah mengapreasi, kehangatan akan lebih nampak, ditambah kudapan kue natal dengan minuman cola atau sirup tertentu.
Gitu Aja Kok Repot !
Hubungan harmonis ini, seperti apa yang sering Gus Dur tegaskan “gitu aja kok repot”. Sebuah usaha bukan untuk menyederhanakan masalah, tapi berpikir dan bertindak substansial. Karena poin utamanya adalah, jika agama adalah jalan keselamatan, maka damai tidak punya posisi tawar apapun selain menerimanya dengan utuh.
Tidak perlu repot-repot dicari bagaimana tinjauan fiqih atau pendapat gereja. Sebab keduanya masih memegang teguh iman masing-masing, tidak ada yang terluka dan merasa seperti dipaksa untuk masuk dalam agama tertentu,atau dengan mengatakan ini konspirasi, hanya karena sebuah ucapan yang sudah melebur dengan selow hati dalam keseharian.
Ekspresi ini menandakan,, bentuk keimanan paling dalam ada di lubuk hati. Ekspresi iman pula dilihat saat memilih jalan harmonis meyikapi maslah ini. Justru dari sinilah kompleksitas hidup tidak melulu diselesaikan dengan label formal dalam agama, semisal halal, haram, dan lainnya.
Sejatinya, usaha ini sudah dimulai Gus Dur dengan penegasan agama tidak perlu hadir dalam bentuk formalnya. Karena agama juga punya daya menyelesaikan masalah dengan unik—di luar bentuk formallnya—bahkan membuat hidup lebih berwarna dan harmonis.