Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Matinya KPK di Tangan Kekuasaan

Jumat, 14 Mei 2021 | 15:05 WITA Last Updated 2021-05-14T07:29:26Z
Foto: Gusdurian.net (Istimewa) 


(Faisal Saidi: Mahasiswa Pascasarjana HTN, UIN Sunan Kalijaga. Koordinator GUSDURian Kabupaten Boalemo)


Opini - Dalam tulisan ini, yang ingin saya bilang lebih awal adalah; bahwa lembaga antirasuah di Indonesia, yakni KPK, sudah tidak pantas lagi dipercaya keberadaanya. Cita-cita reformasi, integritas kelembagaan, serta semangat memberantas korupsi, telah mati sejak Mahkamah Konsitutisi (MK) dalam putusannya beberapa hari kemarin menolak Uji Formil UU KPK No. 19 Tahun 2019, atas perubahan UU KPK No. 30 Tahun 2002. 


Para Akademisi hukum, pratiksi, aktivis antirasuah, organisasi masyarakat sipil, bahkan pegawai yang di dalam tubuh KPK, seketika sesak mendengar dan membaca secara saksama hasil putusan MK tersebut. Bagi mereka, MK dalam putusannya sangat tidak mencerminkan sebuah lembaga yang menjaga amanat konstitusi dan amanat rakyat Indonesia. Lebih jauh lagi, Prof. Susi Harijanti menilai, dalam putusan MK terkait UU KPK, Hakim Konstitusi cenderung mengilhami paham legisme. Dalam artian, membatasi hukum dalam bentuk Undang-Undang, atau kalau diakui oleh Undang-Undang. Norma moral, dan segenap kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat tidak menjadi ukuran oleh Hakim Konstitusi. Padahal, hal demikian sangatlah dibutuhkan untuk menjadi penyeimbang (balance) dalam mencapai keadilan hukum. Seperti yang ditulis oleh James Bryce, The American cammonwealth (1888), dalam Levitsky & Ziblatt, bahwa “bukan konstitusi AS yang membuat sistem politik Amerika bekerja, melainkan apa yang disebut ‘praktik-praktik yang sudah menjadi kebiasaan’ atau aturan tak tertulis. Selain itu, faktor yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutus prodak hukum, yakni adalah bagaimana kondisi serta respon masyarakat ketika hukum itu hendak diputuskan. Jika yang terjadi adalah penolakan secara masif terhadap sebuah UU, maka sikap masyarakat itulah yang akan menjadi narasi representasi dalam pengambilan keputusan, atau paling tidak menjadi pertimbangan hakim dalam menguji UU yang hendak diputuskan.


Sabagai badan atau lembaga yang diberi kewenangan untuk  memastikan produk UU itu berjalan dengan semestinya, baik secara formil tertib procedural , dan secara materil UU itu telah diuji secara ketat dan tentu memperhatikan legal effcacy dan rational acceptability, MK seharusnya dengan penuh taat menjaga konstitusi (the guardian of the constitution) dari bujuk rayu penguasa, dan elit politik tertentu. Sehingga mengantarkan MK menjadi institutional interlocutor, bukan justru menjadi the interlocutor of the people


Kapan hari, ahli Hukum Tata Negara, Zainal Arifin Mochtar, pun turut mengkritik keras terhadap putusan MK itu. Baginya, tidak hanya KPK yang mati dibunuh oleh penguasa yang berkepentingan, MK juga secara tidak sadar, telah menjemput kematiannya sendiri. Di lain sisin, masih menurut Zainal, putusan MK ini digolongkan sebagai kejahatan hukum secara sempurna dalam peradilan, atau perfect legal crime.


Dengan adanya putusan MK yang menolak uji formil UU KPK, merupakan perwujudan dari serangkain peristiwa pelemahan KPK, yang semenjak 2015 – bahkan jauh sebelum itu – agenda pelemahan KPK ini telah dilancarkan. Demikian juga, putusan MK ini akan menjadi preseden terburuk di kemudian hari. Dengan kata lain, MK menunjukan bahwa dalam memustuskan sesuatu, tidak lagi memperhatikan  procedural justice, natural justice, serta lalai memperhatikan  meaningfuul participation (Susi Harijanti). KPK tampak lebih memilih “kehendak politik” tertentu.


Untuk selanjutnya, saya akan membawa Anda untuk mencermati dua hal pokok dalam tulisan ini. (I) Terkait peralihan status aparatur sipil negara (ASN) dan tetek-bengek tes wawasan kebangsaaan. Di sini, dari banyaknya keanehan dan upaya ‘mereka’ membunuh KPK, topik yang ingin saya sentil adalah perihal peralihan pegawai KPK ke status PNS. Bagi saya, ini merupakan upaya ‘mereka’ membunuh serta menguliti lembaga independen secara terang-terangan.


(II) Terkait pemufakatan negara dalam membunuh lembaga independen. Secara ringkas, saya ingin menjelaskan, bahwa negara pernah sekuat tenaga membunuh lembaga independen di Indonesia. Dalam poin ini, saya fokus mengutamakan dua objek sumber kekuasaan, yakni Orde Lama dan Orde Baru. Tujuan kenapa saya rasa perlu menuliskan hal ini adalah, setidak-tidaknya, kita sudah mempunyai gambaran, bahwa keterlibatan negara dalam membunuh lembaga independen itu sangat memungkinkan. Bahwa pembunuhan KPK ada keterkaitan dari agenda kepentingan negara, dan sekelompok elit politik, bisa Anda lacak rentetan kejadian dari tahun ke tahun terkait upaya pelemahan serta matinya KPK, dan jawabannya, pasti. 


Peralihan status pegawai KPK


Membaca KPK tidak hanya dari aspek formal kelembagaan saja, melainkan dari semua aspek yang memungkinkan KPK tetap bertahan serta setia pada janji reformasi. Yang paling dekat dengan KPK, misalnya, bagaimana memperkuat integritas pegawainya, serta pihak penyidik yang berada di lingkukan KPK. 


Pasca revisi UU KPK No. 19 Tahun 2019, atas perubahan UU KPK No. 30 Tahun 2002, Pada bulan Juli, pemerintah, dalam hal ini Presiden Jokowi, telah  mengeluarkan Peraturan Pemerintah  (PP) NO. 14 Tahun 2020 Tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN). Dengan kejadian ini, sangat terlihat jelas koherensinya, bahwa KPK memang benar-benar dibunuh integritas lembaganya guna memberantas korupsi. 


Meski kritik tumbuh sumbur bertebaran di ruang publik, ditambah lagi aksi penolakan atas revisi UU KPK yang sampai akhirnya menewaskan 5 orang mahasiswa, tidak sama sekali mengetok hati pemerintah serta DPR yang, notabenenya sebagai lembaga negara yang memiliki otoritas terhadap asbab UU lahir. Belum lagi sikap pimpinan KPK yang sangat tidak mencerminkan sebuah kepedulian terhadap KPK. Alih-alih ikut dalam barisan menolak reivisi UU KPK, Firli Bahuri – pimpimpinan KPK –  tampak ekslusif, dan tutup mata atas kekecewaan publik.


Secara umun, yang menjadi soal kenapa banyak kritik yang mengalir atas peralihan status pegawai KPK menjadi ASN adalah, bahwa pegawai KPK kehilangan indepedensinnya dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya dalam memberantas korupsi! Singkatnya, pegawai KPK akan sangat mudah diintervensi oleh lembaga lain di luar KPK, bahkan tidak menutup kemungkinan akan lebih taat kepada pimpinan daripada memastikan serta konsen dalam memberantas korupsi. 


Jika dirunutkan, setidaknya ada dua indikasi serius pegawai KPK nyaris kehilangan integritas serta nilai independesinya dipastikan hilang. (I) Setelah adanya revisi UU KPK No. 19 Tahun 2019 atas perubahan UU KPK No 30 tahun 2002, tampak jelas perubahan makna, tafsir,  serta reorientasi lembaga antirasuah itu berubah. Dalam pasal 3 UU KPK hasil revisi tahun 2019, misalnya. KPK dimaknai sebagai “lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun”. Terdapat dua kata kunci fundamental dalam perubahan UU 2019 tersebut. Kata kunci pertama adalah; “lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif”. Dan kata kunci kedua adalah; “bebas dari pengaruh kekuasaan manapun”. Kata kunci pertama logikanya mudah, yakni Karena KPK telah digologkan dalam wadah eksekutif, yang secara kelembagaan, eksekutif dimaknai dalam hierarki kekuasaan adalah Presiden – dan para pembantunya di kabinet – dan seterusnya. Artinya, pihak eksekutif dengan mudah mengintervensi KPK, yang akhirnya KPK sebagai lembaga yang indepensinya serta integritasnya perlu dijaga, runtuh seketika atas hadirnya revisi UU 2019 tersebut. Tidak hanya itu, pihak eksekutif sangat berpotensi memegang kendali KPK, serta memungkinkan untuk mengamankan agenda politik uang yang muncul dari dalam eksekutif. Nah, kata kunci kedua merupakan ‘konfirmasi’ atas kata kunci pertama. Artinya, hanya pihak eksekutif-lah yang bisa mempengaruhi KPK, baik dari segi kebijakan lembaga KPK, ataupun dalam rangka memberantas korupsi. Indikasinya sederhana, bahwa di Indonesia memiliki beberapa lembaga negara yang, secara tugas dan tupoksinya bersifat terpisah (segregatif) dan menjalankan lembaga itu sesuai dengan amanat konstitusi. Oleh sebab itu, karena KPK masuk dalam rumpun eksekutif, maka dipastikan hanya pihak eksekutif yang memiliki otoritas untuk mengintervensi KPK, dan tidak dibenarkan lembaga lain dari itu, seperti Legislatif dan Yudikaf. 


Lalu apa hubungannya revisi pasal 3 UU KPK tersebut dengan hilangnya intgeritas dan independesi pegawai KPK jika dialih-statuskan menjadi ASN? Tentu dampak negatifnya begitu kentara. Jika pegawai KPK berstatus menjadi ASN, secara otomatis, maka kewenangan atas pegawai KPK beralih di tangan Kementrian Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara (PAN-RB). Pun secara administrasi negara, ASN itu dijaga ketat oleh Lembaga Komisi Aparatur Negara (KASN) serta diperkuat oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN). Bukankah tiga lembaga itu bersifat kontiguitas dengan eksekutif? Jawabannya, pasti! Dan tentu pegawai KPK sangat rentan oleh kepentingan politik pemerintah, dan jika pegawai KPK terkesan ngeyel dengan pemerintah, maka bisa jadi pemerintah menggunakan alat otoritasnya untuk menghentikan langkah pegawai KPK.


Indikasi berikutnya, (II) melanjutkan di atas, asbab dari peralihan status pegawai KPK menjadi ASN, maka tentu pegawai KPK yang sebelumnya tidak berstatus ASN perlu mengikuti jalur atau  mekanisme penerimaan ASN. Dalam mekanisme tersebut, ada yang disebut sebagai Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Yang ingin saya bilang di sini, bukan perihal benar atau tidaknya dilakukan tes seperti itu di pegawai KPK, melainkan bahwa TWK ini merupakan alat untuk membunuh dan menguliti habis-habis KPK beserta pegawainya. Di dalam tes ini, ada 75 orang pegawai KPK dinonaktifkan! yang artinya, 75 orang ini gagal menjadi ASN dan secara administrasi negara tidak lagi menjadi anggota atau pegawai KPK. Tercatat, 75 orang ini merupakan orang-orang yang, secara integritas tidak perlu diragukan lagi. Mereka masing-masing adalah tulang punggung integritas lembaga. Dan juga masing-masing dari mereka masih dalam, dan atau bertugas menyelesaikan proses korupsi di Indonesia. Novel Baswedan, Penyidik KPK yang telah kehilangan mantanya lantaran bengisnya negara, pun termasuk dalam daftar 75 orang itu. Selain itu, TWK KPK menjelaskan, betapa 75 orang ini memang sudah menjadi target untuk disingkirkan di tubuh KPK. 


Yang menjadi mengherankan bin kurangajarnya negara, dalam proses TWK tersebut, muncul pertanyaan yang sama sekali tidak mencerminkan ‘wawasan kebangsaan’. Contohnya: Apa orientasi seksual Anda? Bersedia lepas jilbab? Kenapa belum menikah? Apakah bersedia mentaati pimpinan meski itu sebuah kesalahan? Jabatan apa yang ingin diincar? Mau terima donor darah dari non muslim? Apakah mengucapkan natal pada non muslim? Dan pertanyaan lainnya yang, sama sekali jauh dari tujuan wawasan kebangsaan. 


Terakhir, lembaga antirasuah itu adalah hasil dari reformasi pasca otoritarianisme. Semenjak keberadaanya, memang banyak yang berusaha untuk membunuh lembaga ini. Secara sepintas tidak terlihat, namun diam-diam upaya itu makin kuat. Karena semua lini sudah terkonsolidasikan secara politik, maka baru di tahun 2021, KPK secara sah telah mati, meski secara kelembagaan masih tampak terlihat di hadapan kita.


Pemufakatan Negara dalam Membunuh Lembaga Independen


Sejak Presiden Soekarno membubarkan Dewan Konstituante dan Parlemen hasil pemilihan umum pada awal Demokrasi Terpimpin,  sudah tidak ada lagi badan legislatif yang independen dan kritis di Indonesia. Ketika ia berhasil menciptakan sebuah parlemen baru, DPR-GR dan MPRS, yang anggota-anggotanya ditunjuk langsung oleh Soekarno (Mohtar: 2003). Secara otomotis, Soekarno telah menunjukan sebuah kebiasaan di mana ia sebagai eksekutif, secara bersamaan mengambil jatah kerja yang ada dalam rumpun legislatif. Indikasinya sederhana, dengan menyetir legislatif, Soekarno bisa semaunya mengusulkan RUU atas kepentingannya, dan bisa dipastikan parlemen menerima usulan tersebut, juga mengesahkan usulan itu. Menurut Daniel S. Levseperti dikutip oleh Harman (1997: 335-340) dalam penjelasan R. Simarmata, bahwa  tindakan tindakan Presiden ini menandakan bahwa Orde lama memiliki birokrasi patrimonialistik yang menempatkan Presiden sebagai pusat atau patron yang mengendalikan semua lembaga negara pemerintah. 


Bergeser pada zaman Soeharto, pengambil-alihan lembaga independen semakin menjadi-menjadi. Ketika pengalihan kekuasaan 11 Maret 1966, dengan lincah, Soeharto segera mengganti anggota parlemen yang berhaluan komunis dengan pasukan pendukung Orde Baru. Juli 1967, Soeharto mengonsolidasikan – dengan mengabaikan komisi DPR – serta membangun kesepakatan dengan pimpinan partai yang menghasilkan setidaknya; anggota DPR diperbanyak dari 347 menjadi 460 anggota. Selanjutnya, pemerintah memiliki jatah 100 anggota DPR, masing-masing 75 mewakili ABRI, dan 25 mewakili sipil non-partai. Kesepakatan itu yang, oleh Adnan, et.al. (1981), dalam Mohctar, disebut sebagai “Konsensus Orde Baru”.


Soeharto menggunakan segala cara untuk tetap mempertahankan jabatannya. Sebisa mungkin, orang yang berusaha menentang kebijakannya, akan segera dieskekusi. Saking ia begitu berapi-api dalam menjaga jabatan presiden, ada sekitar 30 batalyon tentara yang turun mengamankan sidang MPRS yang kelima pada Maret 1968. Dan selanjutnya, terjadilah reformasi kepartaian Orde Baru, atau yang disebut “Fusi Kepartaian”. Dala hal ini, partai disederhanakan, atau lebih tepatnya dipangkas menjadi tiga partai saja, yakni PPP, PDI, dan Golkar. Hal itu sekali lagi menjaga agar Soeharto tetap menjabat sebagai presiden, dan menetralisir suara akar rumput agar tidak terpecah. 


Dalam konteks peradilan. Di zaman Orde Lama, Soekarno mengeluarkan kebijakan mengintegrasikan kekuasaan peradilan ke dalam rumpun kekuasaan (Harman 1997, dalam R. Simarmata). Peraturan itu tercantum dalam UU No. 19/1964, yang menjelaskan bahwa membolehkan presiden melakukan campur tangan dalam peradilan. Kemudian ditegaskan dalam UU No.13/1965, bahwa presiden boleh turun tangan untuk mengehentikan perkara – meski sementara tahap penyidikan, penyelidikan, maupun penuntutan. Alasannya adalah untuk menyelamatkan kepentingan negara yang lebih besar. Singkat kata, peraturan itu semacam sandi untuk menyelamatkan kekuasaan dari jeratan hukum, serta sebuah perilaku yang memandang bahwa lembaga kehakiman bukan arena mencari keadilan. Dengan dalih ‘kepentingan negara’, Soekarno begitu nafsu memangkas lawannya dengan jeratan hukum. Pada akhirnya pula, dengan UU itu juga, Soekarno dan konconya menjadi kebal hukum serta berpotensi menggunakan hukum sebagai sarana pratik politik.


Jika Orde Lama menggunakan dalih ‘kepentingan negara’, Orde Baru justru mengatakan bahwa intervensi peradilan yang dilakukan adalah semata-mata ‘kepentingan pembangunan’. Hal demikian ditandai dengan pemberlakuan UU No.14/1970. Dalam isi UU itu, dalam penjelasan R. Simarmata, ada tiga hal pokok yang dijelaskan. Pertama: UU itu memakai konsep pemisahan kekuasaan dan bukan konsep perimbangan kekuasaan. Artinya, UU itu tidak memberikan kewenangan kepada MA untuk melakukan judicial review atas Undang-Undang. Kewenangan MA hanya melakukan judicial review produk perundangan di bawah Undang-Undang. kedua: UU itu menempatkan para hakim pengadilan tingkat bawah secara administrasi di bawah kewenangan Departemen Kehakiman dan MA. ketiga: eksekusi pembatalan peraturan perundang-undangan bukan dilakukan oleh MA, melainkan oleh pemerintah. Secara ringkas, mengamini apa yang dikatakan Lev (1990) bahwa sikap pemerintah Orde Baru menandakan kekuasaan tertinggi atas hukum bukan pada pengadilan melainkan pada birokrasi. 


Yang ingin saya tekankan pada bagian ini adalah, bahwa upaya pembunuhan lembaga independen tidak hanya terjadi pada tubuh KPK. Melainkan agenda ini sudah pernah terjadi, dan bahkan sudah menjadi, jika saya menyebutnya semacam “konstruksi logika negara”. Wabil khusus, jika disederhanakan, merupakan komposisi paten atas otoritas negara. Tentu apa yang saya maskud “konstruksi logika negara” tidak berdiri tunggal. Pada prinsipnya, jika ada kepentingan politik yang mengorbankan konstitusi, demokrasi, dan masyarakatnya, dipastikan bahwa kepentingan itu ialah kepentingan bergerombol orang. Jika mengikuti jalan pikir para ahli ilmu sosial progresif, kepentingan bergerombol ini dikategorikan sebagai; pemangku kebijakan (dalam hal ini Presiden, atau pemimpin), elit politik, dan penjamin modal (kapitalis), yang selanjutnya jika disebut secara utuh yakni “oligarki”


×
Berita Terbaru Update