Toraja dalam ungkapan lisan maupun tulisan di dalam tata krama dan estetika budaya Bugis-Makassar, mempunyai banyak arti dan makna yang luas. Bagi orang awam barangkali ungkapan itu dapat dimengerti sebagaimana dimaksud letak geografis, atau batas batas wilayah di Tanah Toraja.
Namun Toraja lebih dikenal karena mereka adalah rumpun etnis tertua di Pulau Sulawesi. Dari aspek sosial budaya pengertian dalam makna kata Toraja, secara eksteren memang tidak langsung berpengaruh terhadap masyarakat luas di Pulau Sulawesi.
Akan tetapi di sudut pandang historiografi penduduk asli Sulawesi, masih bergantung pada Toraja. Karena bagaimanapun mereka masih satu genesis. Misalnya beberapa etnik, antara lain; Suku Bugis-Makassar, Kaili, Buton, Luwuk-Banggai, Pamona dan sebagainya. Begitupun sudut pandang geografis dan genetika.
Oleh sebab itu, faktanya dapat dilihat pada proses akulturasi dalam sejarah. Pada zaman dahulu, perkataan Toraja bagi orang orang Bugis lebih santun jika disebut To riaja, yang mempunyai arti "Orang yang berdiam diatas". Selain itu orang Luwu menyebut dengan julukan To riajang dan mempunyai arti " orang yang berdomisili di wilayah barat".
Bila dikaji lebih dalam, akan ditemukan berbagai semiosis yang menunjukkan persamaan, dan hanya terdapat sedikit perbedaan antara orang Toraja masa kini dengan pendahulunya yang sudah sekian lama tiada.
Tetapi tak dapat dipungkiri bahwa karena merekalah sehingga melahirkan sejumlah sub etnis. Demikian juga halnya bila dilihat dari aspek linguistik, etimologi maupun filologi pada proses kompilasi bahasa. Yang mana dalam kajian histori asal usul etnis di Sulawesi lainnya hanya suku Toraja yang dapat menjadi acuan rujukan.
Suku Toraja merupakan titik pusat dan sumber sejarah yang tak terbantahkan dalam berbagai kajian ilmiah serta penelitian yang dilakukan selama ini. Suku Toraja purba, adalah asal mula nenek moyang berbagai suku di pulau Sulawesi dan kini menjadi suku suku mayoritas.
Dalam tinjauan sejarah, suku Toraja merupakan induk bagi etnis lainnya. Memperhatikan semantik bahasa toraja adalah akar bahasa tutur yang digunakan oleh suku suku purba di Sulawesi. Hal ini merupakan argumentasi untuk menentukan adanya kesamaan tutur bahasa yang paling banyak ditemukan di Sulawesi dan lebih dahulu digunakan oleh suku Toraja.
Namun karena kepesatan modernisasi sehingga dalam konteks sejarah, suku Toraja lambat laun dilupakan orang. Secara inheren Toraja tidak dikenal lagi sebagai penolok nilai nilai sejarah lokal di Sulawesi. Walau dibalik itu, mereka tidak hanya diakui sebagai nenek moyang suku Bugis-Makassar, Buton, Kaili dan Luwuk-Banggai. Tetapi selain itu, keberadaan Toraja merupakan memori masa lalu terkompilasi dalam segmen sejarah lokal di Sulawesi.
Terlepas dari itu, Gorontalo juga adalah merupakan bahagian dari masa silam yang diuraikan dalam sejarah kepurbaan Sulawesi. Beranjak dari situ maka konsep nyata untuk mengutarakan identitas Gorontalo dalam aspek sejarah digunakan referensi naskah kuno La Galigo.
Epos tentang kisah Sawerigading dan saudara kembarnya yang bernama We Tenriabeng (Rawe), dapat menyambung mata rantai sejarah Gorontalo yang putus selama kurang-lebih sembilan abad. Gorontalo yang dahulu kala bernama negeri Wadeng cukup dikenal di berbagai kerajaan kerajaan yang terdapat di sekitarnya.
Ditandai dengan adanya lembah dan terdapat genangan air yang bermuara kepantai melalui celah celah pegunungan. Laiknya menjadi bandar niaga dan tempat persinggahan bangsa bangsa maritim. Cukup dijadikan bukti, menunjukkan Gorontalo mempunyai peran sosial yang amat penting bagi perkembangan masyarakat di pesisir pantai Teluk Tomini.
Dalam hal itu, karena bermacam macam kerjasama dalam hubungan bilateral dilakukan sejak dahulu. Baik perekonomian dan perdagangang maupun dalam menciptakan keamanan disekitar perairan teluk Tomini.
Oleh sebab itu kemajuan pembangunan zaman itu dapat dilaksanakan karena hubungan antar kerajaan terjalin sangat baik, demikian pula kolaborasi disiplin ilmu dan pengetahuan senantiasa diterapkan secara bersama.
Disisi lain, berbagai bentuk kesamaan legenda pada epik purba terdapat juga dalam hikayat kerajaan tertua di Gorontalo. Setelah dikaji dan memperhatikan historinya, semuanya adalah bahagian dari keberadaan nenek moyang dahulu.
Asal usul kerajaan Suwawa, kerajaan Tinombo/Tomini, kerajaan Tojo dsb. Merupakan gambaran kesamaan dalam teori adaptif dan juga dalam pemahaman sejarah untuk mencapai induksi (akar sejarah). Termasuk Sangir, Bolaang Mongondow dan suku-suku Minahasa yang dikisahkan dalam literatur sejarah Minahasa, menyebut keserupaan.
Sebagai pelengkap inkuiri dalam segmen sejarah, satu satunya argumen melalui riwayat We Tenriabeng yang dipersunting oleh Opunna Wadeng selaku penguasa Remmang ri langi', dan tentu saja yang dimaksud ialah Wolangodula. Ia adalah anak seorang pengembara bernama Humalanggi (Humalangi/Humolongi/Gumalangit) yang datang dari gunung kelabat (kalabat).
Sehingga itu diyakini keturunannya cikal bakal menjadi suku Gorontalo. Dalam penjelasan yang berkelanjutan, faktanya termaktub dalam naskah kuno dan catatan sejarah dari berbagai sumber. Khususnya kerajaan kerajaan yang menyatu dalam rumpun keluarga limo pohalaa di Wadeng (Sekarang Gorontalo).
Dimana mereka pernah hidup dan menempati kawasan negeri itu dan sampai saat ini masih meninggalkan jejak-jejak asal muasal keturunannya. Keberadaan manuskrif kuno yang berusia ratusan tahun, di dalamnya tertoreh seorang wanita berdarah ningrat dan berkebangsaan Suku Bugis, lalu disebut sebagai Manulungjin.
Atas kompilasi kata manulungjin dalam merujuk kedekatan arti pada pemaknaannya dapat dipersamakan dengan kata "Manurung" dalam dialog bugis. Dipastikan bahwa Ia adalah Rawe saudara kembar Sawerigading atau Sarigade sebutan bagi orang orang Gorontalo dahulu kala.
Bermula dari sebuah kampung tua yang diberi nama Ussu', lalu kemudian berkembang menjadi satu wilayah kekuasaan yang ditandai dengan turunnya Batara Guru. Oleh kehadirannya selaku utusan dari negeri atas untuk memakmurkan bumi.
Meskipun dalam hal ini, sebelum menjadi kerajaan Luwu' purba, terdapat sekelompok manusia yang berdiam di Tanah Toraja. Sebagaimana telah dijelaskan lebih dahulu bahwa, Toraja bermakna "Orang yang berdomisili diatas" atau orang yang berdiam di pegunungan. Mereka memilih salah seorang yang dirajakan bernama Tamborolangi'.
Mengawali Tamborolangi dan Batara Guru dalam kisannya, disebut sebagai pendatang dari Tonkin yang menggunakan perahu (Puang lembang/Penguasa perahu). Sejak bermukim di Tanah Toraja mereka mendirikan beberapa buah rumah untuk dihuni. Rumah yang mereka buat disamakan dengan bentuk perahu yang digunakan ketika meninggalkan negeri asalnya, sehingga mereka bisa berlabuh dipesisir pantai Pulau Sulawesi.
Gagasan membangun rumah berbentuk perahu diciptakan agar mereka tidak akan melupakan negeri asalnya. Rumah itu di sebut banua dalam bahasa Toraja. Desain reka bentuk bangunan yang bersifat monumental itu bubungannya mirip dengan wujud bahtera itu. Kemudian, Tamboro Langi menetap diatas sedangkan Batara Guru turun ke Ussu'.
Lama kelamaan penduduk Ussu' semakin bertambah banyak dan berubah menjadi sebuah kerajaan kecil tetapi kuat dan pertama di tanah Bugis. Letak wilayah kerajaan itu membentang dari Gunung Lakawan dan Gunung Bamba Puang di desa Rura yang terletak di tanah Duri (sekarang Kab.Enrekang), hingga melampaui pegunungan Verbeg meliputi wilayah Kabupaten Kolaka saat ini, dan termasuk negeri Wadeng (Gorontalo masa kini).
Nama dan pusat kerajaan itu disebut kerajaan Ware' (Luwu Purba). Orang yang pertama duduk sebagai penguasa kerajaan itu ialah Batara Guru. Dalam legenda kerajaan Ware', Batara Guru lebih dikenal sebagai seorang lelaki suci, pendatang dan pendahulu di negeri tua itu.
Berikutnya, pada saat usia Batara Guru sudah uzur dan oleh karena itu ia harus melakukan pergantian tahta dalam kerajaan. Berhubung sistem dalam kemasyarakatan yang tadinya kacau ''Sianre bale'' sudah kembali normal, maka kepemimpinan dalam kerajaan itu diwariskan kepada Batara Lattu' yang tak lain adalah anak kandungnya.
Selain itu, status Batara Lattu' juga adalah ayah dari sepasang anak kembar emas, yakni Sawerigading dan We Tenriabeng atau Rawe. Kelahiran Sawerigading dan Rawe selaku saudara kembar emas merupakan kejadian langka bagi setiap pasangan suami-isteri, jika memperoleh anugerah dari Tuhan lalu melahirkan anak kembar yang berlainan jenis.
Kala akhir, setelah Batara Guru dan Batara Lattu' sudah menyelesaikan seluruh kewajibannya kepada Tuhan penguasa alam, merekapun dipanggil pulang ke negeri asalnya. Keduanya memenuhi panggilan untuk selama lamanya dan takkan kembali lagi di bumi.
Tetapi selang beberapa waktu, jauh hari sebelum kepulangan Batara Guru dan Batara Lattu' mereka mewariskan tahta kerajaan itu kepada Sawerigading, karena usianya telah cukup dewasa dan sudah mapan untuk memimpin kerajaan.
Namun sayang seribu sayang, Sawerigading enggan menetap di tanah kelahirannya. Ia memilih menjadi Nakhoda kemudian mengembara sepanjang hidupnya. Sehingga kekuasaannya beralih kepada We Tenriabeng selaku Pemimpin di kerajaan Ware'.
Tapi, kelak dua puluh tahun kemudian We Tenriabeng mengunjungi Wadeng untuk berjumpa dengan saudara kembarnya, tetapi ia tidak menemukannya. Sebab Sawerigading telah pergi mengembara dan meninggalkan tanah Wadeng.
Dengan demikian, Ia kecewa bercampur rasa rindu karena ingin bertemu dengan saudaranya. Sehingga Ia memutuskan untuk menetap beberapa saat, dan kemudian bertemu dengan sekelompok orang yang bermukim di tempat itu.
Disitulah We Tenriabeng dipersunting oleh Opunna Wadeng atau penguasa Remmang ri Langi, dalam hal ini adalah seorang yang bernama Wolangodula. Ia adalah pemimpin yang pertama kali berkuasa di Negeri Wadeng (Gorontalo Sekarang).
Sumber:
1. Sureq La Galigo
2. Manuskrip kuno Raja Bulango.
3. Buku Bangsa Limo Pohalaa oleh Prof.Dr. Samin Radjik Nur, SH.
4. Buku berjudul, Toraja; Seorang Penggalian Sejarah dan Budaya oleh: Prof. Dr. L T. Tangdilintin.
Penulis: Maman Ntoma
Beranda Museum Sejarah Gorontalo