Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Bahaya Menyandarkan Pangan Nasional Pada Korporasi Pangan

Minggu, 15 November 2020 | 22:54 WITA Last Updated 2020-11-15T15:30:15Z
Ilustrasi (Foto: Pixabay)

Jakarta - Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia akan mengadakan "Jakarta Food Security Summit (JFSS)" pada 18-19 November 2020. Kegiatan JFSS ke-5 ini mengangkat tema “Pemulihan Ekonomi Nasional Untuk Mendukung Ketahanan Pangan dan Meningkatkan Kesejahteraan Petani, Peternak, Nelayan dan Industri Pengolahan”. 

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), menyatakan sikap dengan merespon terhadap Penyelenggaraan Jakarta Food Security Summit tersebut.

Mereka menilai, tema mengangkat kesejahteraan petani, peternak dan nelayan patut diragukan. Sebab, komponen petani, nelayan, peladang, masyarakat adat, masyarakat kecil yang tidak dijadikan narasumber untuk diketahui masalah-masalahnya.

Agenda KADIN ini tidak lebih dari upaya perusahaan-perusahaan agribisnis raksasa untuk memonopoli rantai produksi dan pasokan pangan, sekaligus mengekspolitasi sumber-sumber agraria Indonesia. 

Terjadi pergereseran jauh dimana sistem pemenuhan pangan diserahkan kepada perusahaan besar sebagai produsen pangan. Corak produksi pangan yang semacam ini berimplikasi lebih jauh dimana sumber-sumber agraria Indonesia telah dan akan semakin diserahkan kepada mereka atas nama ketahanan pangan, petani dan nelayan. Kebijakan dan praktik semacam ini jelas terlihat dari proyek *MIFEE dan Food Estate.*

Dari berbagai kegiatan yang dilaksanakan oleh KADIN, tergambar dengan sangat jelas peminggiran partisipasi riil kelompok petani, masyarakat adat, nelayan dan peternak, karena dari setiap diskusi yang dilaksanakan representasi petani dan kelompok rentan lainnya pun tidak terlihat. 

Terlebih KADIN juga sebagai promotor UU Cipta Kerja, akan memakai UU Cipta kerja sebagai kerangka kebijakan pertanian ke depan. Seolah masalah pangan dan pertanian hanya bisa diselesaikan dengan diskusi dan investasi, tanpa membongkar problem struktural pangan dan agraria nasional

Dalam sejarah kita, pemenuhan pangan tidak pernah sukses dilakukan jika diserahkan pada korporasi. Sebab, perusahaan cenderung mengabaikan lingkungan dan mendorong sistem monokultur skala luas, serta mengabaikan petani sebagai produsen pangan yang utama. 

Hal tersebut bisa dilihat sejak dari proyek PLG di Kalimantan, MIFEE, hingga MoU Kementerian Pertanian dengan TNI untuk percetakan sawah baru. Bukan hanya meminggirkan petani dan masyarakat adat, lebih jauh menimbulkan konflik agraria dan penggusuran tanah masyarakat. Bahkan BPK banyak menemukan kerugian negara di dalamnya. 

Agenda JFSS ini pun sangat berbahaya bagi agenda mewujudkan kedaulatan pangan ke depan, mengingat sponsor kegiatan ini adalah perusahaan-perusahaan penyebab konflik agraria dan kerusakan lingkungan seperti Sinarmas, Indofood, Cargill hingga Nestle. 

Keterlibatan perusahaan-perusahaan ini dinilai telah mengkerdilkan sekaligus meminggirkan peran rakyat dan pertanian rakyat. "Food summit" ini sama sekali tidak menghitung modal sosial dan ekonomi masyarakat, kemampuan masyarakat bergotong royong, bersolidaritas mewujudkan kedaulatan pangan. 

Selama pandemic, terbukti pertanian kecil yang memiliki resiliensi kuat menghadapi krisis, hingga menjadi garda pengan terdepan. 

Perusahaan yang terlibat dalam "food summit" tersebut memiliki catatan buruk seperti perampasan tanah pertanian, perkampungan dan wilayah adat, kebakaran hutan, rantai pasok komoditas sawit, kriminalisasi, kekerasan hingga pembunuhan, baik secara langsung maupun melalui anak perusahaannya. 

Beberapa kasus saja diantaranya: (1) Perampasan tanah disertai pembunuhan petani Anggota Serikat Tani Tebo (STT) oleh PT Wira Karya Sakti Tebo (anak perusahaan Sinasmas) di Desa Lubuk Mandarsah Kabupeten Tebo; (2) Pembakaran hutan oleh PT Harapan Sawit Lestari (HSL) dan PT Ayu Sawit Lestari (ASL) di Desa Asam Besar, Kabupaten Ketapang (anak perusahaan Cargill Indonesia); 

(3) Kriminalisasi dua petani Paguyuban Petani Cianjur (PPC) Desa Simpang Kabupaten Cianjur oleh PT Pasir Luhur (anak perusahaan Indofood Sukses Makmur Tbk); (4) Pembelian CPO oleh Nestle dari PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (anak perusahaan Sinarmas) perampas tanah petani di Desa Padang Halaban Kabupaten Labuhanbatu Utara.

Selain konflik agraria, pembunuhan, kriminalisasi dan pembakaran hutan, kondisi Indonesia saat ini tengah mengalami degradasi akut kedaulatan pangan dan pertanian. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya masalah laten sektor pangan dan pertanian, masalah laten tersebut adalah:

(1) Sejak 2017 hingga 2018 telah terjadi penyusutan sawah seluas 650.000 ha per tahun, sebab tanah pertanian dikonversi menjadi obyek tanah pembangunan infrastruktur.

(2) Hingga tahun 2018 masih terdapat 15,8 juta rumah tangga petani yang menguasai tanah kurang dari 0,5 ha, atau meningkat 1,6 juta KK sejak 2013 sedangkan untuk sawit saja sudah lebih dari 16 juta ha tanah dikuasai 25 grup perusahaan.

(3) BPS mencatat impor beras selalu meningkat tiap tahunnya, bahkan di tahun 2018 mencapai 2,2 juta ton. Padahal kebutuhan pangan nasional (konsumsi rumah tangga dan industri) sebanyak 22,28 juta ton sudah terpenuhi oleh total produksi beras nasional mencapai 31,31 juta ton.

(4) Pembangunan food estate seluas 800.000 hektar di Lampung, Kalimantan Utara, Gorontalo, Sulawesi Tenggara, dan Kalimantan Tengah untuk kepentingan bisnis yang dijalankan oleh militer. (5) Tingginya konflik agraria mencapai 3.447 seluas 9,2 juta hektar dengan 1,5 juta rumah tangga petani terdampak sejak 2009-2019.

Atas hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kebijakan pertanian dan pangan yang hendak dibahas pemerintah hanya bertujuan memperkaya pengusaha dan investor, sebaliknya petani, masyarakat adat dan nelayan hanya mendapat konflik dan kemiskinan. 

Padahal Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO 111 yang menyatakan bahwa negara Indonesia berkewajiban untuk memberikan jaminan perlindungan terhadap pekerjaan tradisional seperti petani, peladang, nelayan tradisional dan lain-lain. 

Selain itu di dalam ketentuan Pasal 17 dan 39 UU Pangan, ditegaskan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban melindungi dan memberdayakan Petani sebagai produsen Pangan. Pemerintah berkewajiban untuk menyusun kebijakan impor pangan yang memastikan bahwa kebijakan impor pangan dimaksud tidak berdampak negatif bagi kesejahteraan petani. 

Selanjutnya di dalam ketentuan Pasal 58 ayat (3) UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, disebutkan pula tentang kewajiban pemerintah untuk memastikan ketersediaan tanah bagi petani seluas 2 hektar sebagai lahan Pertanian. 

Hal yang sama pun sejatinya telah ditegaskan di dalam  Pasal 3 dan 62 UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, yang mewajibkan pemerintah untuk melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan milik petani, memberikan jaminan harga komoditas pangan pokok serta memenuhi sarana produksi dan prasarana pertanian.

Alih-alih meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan ketersediaan tanah pertanian agar petani, nelayan dan masyarakat adat agar mampu menjawab tantangan kebutuhan pangan. Pemerintah justru hadir dengan semangat untuk melemahkan masyarakat produsen pertanian dan pangan dengan mengesahkan UU Cipta Kerja. 

Celakanya dalam UU Cipta Kerja beberapa ketentuan yang berpihak pada petani dan produsen pangan kecil di atas telah dihapus melalui pasal-pasalnya.

Dengan adanya JFSS, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menilai pemerintah tidak memiliki strategi bagaimana kedaulatan pangan dicapai dengan jalan memperkuat sentra-sentra produksi pertanian, peternakan dan perikanan berbasiskan rakyat. 

Pendekatan "food security" yang digunakan selama ini terbukti gagal, bahkan cenderung mengabaikan cita-cita kedaulatan negara kita atas pangan. Panggung yang ada hanya atraksi elit politik dan bisnis memanfaatkan UU Cipta Kerja demi untuk memperbesar bisnis di sektor agrikultur. 

Tidak akan ada kedaulatan pangan dan pertanian jika perusahaan masih dibiarkan melakukan perampasan dan monopoli tanah, penggusuran wilayah adat, kriminalisasi bahkan pembunuhan petani. 

Terciptanya kedaulatan pangan tergantung pada: Agenda Reforma Agraria yang sejati; berapa luas tanah yang bisa ditanami dan dimiliki secara berdaulat oleh petani, masyarakat adat serta masyarakat agraris di pedesaan; seberapa serius melindungi wilayah tangkap nelayan; seberapa bersih sungai untuk mengairi tanah pertanian, seberapa kuat jaminan pasar yang menyerap produksi pertanian rakyat; dan seberapa luas hutan yang mencegah pemanasan global.

Tanpa adanya perubahan paradigma dan hal-hal fundamental tersebut, maka agenda kedaulatan pangan bangsa, kesejahteraan petani dan nelayan semakin mustahil diwujudkan.

Pandemi yang berlangsung, krisis ekonomi dan pangan seharusnya menjadi peringatan keras bagi pemerintah bahwa kebijakan agraria dan pangan Indonesia sangat lemah dan rentan dihantam sebab tidak berdaulat. Bahkan kebijakannya semakin liberal, disetir dan dikontrol pemilik modal dan pasar. 

Sudah saatnya pemerintah melakukan koreksi atas penguasaan tanah oleh badan usaha untuk diselesaikan konfliknya dan diredistribusikan kepada petani, buruh tani, masyarakat adat, nelayan dan masyarakat miskin di pedesaan. 

Hanya melalui Reforma Agraria, Indonesia akan berdaulat secara ekonomi, sosial dan politik karena sendi-sendi sosial, ekonomi, budaya yang dimiliki rakyat dijaga dan diperkuat. 

Bukan kegiatan sertifikasi tanah biasa yang mendorong rakyat kecil terjebak dalam sistem pasar tanah bebas, dan kemudian diklaim sebagai pelaksanaan reforma agraria. Bukan pula pemberian hak atas tanah, izin akses hutan dan model kemitraan yang makin memperkuat ekspansi perusahaan dan badan usaha besar. 

Melalui rilis ini KPA, AMAN dan WALHI mendesak pemerintah untuk:

Pertama; Menghentikan liberalisasi pertanian dan pangan nasional berupa pelibatan entitas bisnis secara membabi-buta (dari hulu ke hilir) dalam kebijakan-kebijakan di bidang pertanian dan pangan Indonesia.*

Kedua; Menghentikan pemberian tanah dan sumber agraria lainnya kepada pengusaha dan elit politik dalam berbagai kebijakan dan praktiknya di lapangan.*

Ketiga; Melaksanakan agenda Reforma Agraria untuk mengoreksi ketimpangan penguasaan tanah; menyelesaikan konflik agraria dan mengakui wilayah adat; meredistribusikan tanah kepada rakyat, petani kecil dan buruh tani; meningkatkan ekonomi kerakyatan; dan melindungi keberlanjutan lingkungan.*

Keempat; Mewujudkan kedaulatan pangan sesuai mandat UU Pangan dan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani serta menempatkan petani, masyarakat adat, nelayan, petambak, peternak kecil, dan perempuan sebagai aktor utama pangan nasional.*

Kelima; Mencabut UU Cipta Kerja secara keseluruhan, sebab akan semakin menyengsarakan masyarakat perdesaan dan merusak lingkungan hidup demi memperkaya pengusaha.*

"Selanjutnya, kami harapkan dukungan dari masyarakat luas, seluruh elemen gerakan untuk mengkritisi kebijakan liberalisasi pertanian dan pangan ini," tutup rilis mereka

Hormat kami,
KPA, WALHI, AMAN
Dewi Kartika, Sekjend KPA
Rukka Sombolinggi, Sekjend AMAN 
Nurhidayati, Direktur Eksekutif WALHI
×
Berita Terbaru Update