![]() |
Aliansi Pejuang Rakyat saat melakukan Unjuk Rasa Penolakan UU Omnibus Law di Bundaran Saronde Gorontalo, Rabu (11/11/2020) |
Keresahan dan kekhawatiran atas kondisi darurat Kesehatan akibat pandemi Covid-19, rakyat dikagetkan oleh tindakan pemerintah dan DPR yang secara diam-diam dan tergesa-gesa mengesahkan UU-Cipta Kerja. Pengesahan UU Cipta Kerja tersebut sontak membangkitkan kemarahan bagi rakyat Indonesia.
Awal bulan Oktober lalu, suara Mahasiswa, buruh dan masyarakat Sipil menggemah diberbagai wilayah untuk menolak Undang-undang Cipta Kerja atau Omnibus Law yang sudah disahkan oleh DPR RI dan Pemerintah Pusat.
Aksi yang dilakukan Mahasiswa pada awal Oktober lalu, belum ada output yang jelas. Padahal unjuk rasa yang dilakukan oleh Mahasiswa, hampir semua daerah berkahir dengan kericuhan. Kepolisian Republik Indonesia mencatat ada sekitar 6 ribu lebih mahasiswa dari seluruh wilayah yang berhasil diamankan dalam aksi penolakan UU Cipta Kerja itu.
Aksi protes dan penolakan UU Cipta Kerja terjadi di seluruh Indonesia. Demonstrasi yang didorong semangat dan kesadaran akan nasib dan masa depan bangsa tersebut, telah menyebabkan krisis kepercayaan terhadap pemerintah dan DPR. Rakyat telah menyampaikan mosi tidak percaya terhadap pemimpin dan wakil-wakilnya.
Rakyat, buruh dan mahasiswa bersatu, bergerak bersama memenuhi jalan-jalan, kantor DPRD, dan kantor-kantor pemerintahan. Massa aksi menuntut agar Presiden segera membatalkan UU Cipta Kerja. Gerakan massa aksi yang terorganisir, akhirnya dicederai oleh statement-statement yang tidak positif dari pemerintah dan DPR.
Selain pemerintah dan DPR, para demonstran juga dihadapkan dengan oknum aparat kepolisian yang bertindak sangat represif. Banyak massa aksi yang luka-luka dan sebagian ditangkap oleh aparat. Kebebasan berpendapat sebagai satu jalan untuk meluruskan dan mengingatkan pemerintah mendapat tantangan besar
Sejak awal memang pengajuan hingga penyerahan draft kepada DPR, UU Cipta Kerja mendapat kritik, protes, dan penolakan dari rakyat Indonesia. Draft Omnibus Law yang dibuat tidak transparan dan tidak menjangkau aspirasi publik.
Pembahasan dan pengesahannya pada tanggal 5 Oktober kamarin pun tidak lepas dari kritikan publik. Pemerintah dan DPR terkesan memaksakan kehendak untuk mempercepat pengesahan Undang-undang ini. Pembahasan dan pengesahan dilakukan diluar dari kewajaran. Pembahasannya dilakukan di hotel dan pengesahan dilangsungkan saat tengah malam.
Tidak hanya bermasalah secara prosedural, UU Cipta Kerja dinilai memuat poin-poin yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Undang-undang ini mengobral kekayaan alam Indonesia kepada pemodal dan investor tanpa proteksi yang ketat untuk kelangsungan sumber daya alam nasional.
Dengan hal itu, Pemerintah dan DPR dinilai lebih mengedepankan kepentingan investor daripada kepentingan dan masa depan rakyat Indonesia.
Tak hanya itu, sahnya UU No. 11 Tahun 2020 ini juga akan melegitimasi negara untuk “lepas tangan” pada persoalan pembangunan sumber daya manusia. Arah sistem pendidikan kita akan diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar bebas.
Hal itu dinilai sangat bertentangan dengan tanggung jawab pemerintah sebagaimana yang termakhtub dalam Pembukaan UUD 1945, salah satunya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Keputusan pemerintah dan DPR telah membuat kegaduhan secara nasional. Bila ditimbang secara seksama, UU Cipta Kerja tidak memiliki alasan yang sangat mendesak.
Padahal beberapa RUU yang sudah lama diusahakan dan didesak untuk sah malah dikeluarkan dalam daftar prioritas pembahasan Prolegnas. Sebut saja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang semangatnya adalah melindungi korban kekerasan seksual yang sampai saat ini masih banyak.
Hari ini, Rabu (11/11/2020) Mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Pejuang Rakyat (Aparat) dengan terdiri dari Organisasi Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Gorontalo, Kesatuan Aksi Mahasiswa Buol di Gorontalo (KAMB-G), dan Kesatuan Pelajar Mahasiswa Indonesia Parigi Moutong (KPMIPM) Gorontalo melakukan aksi untuk penolakan UU Cipta Kerja atau Omnibus Law itu
Aliansi Pejuang Rakyat ini menurut agar UU Cipta Kerja atau Omnibus Law harus dicabut, serta hentikan pembungkaman represifitas dqn Kriminalitas aparat terhadap mahasiswa yang ikut dalam unjuk rasa penolakan UU tersebut.
"UU Cipta Kerja atau Omnibus harus dicabut kembali, sebab itu tidak sama sekali berpihak kepada rakyat," kata Ari Saputra, salah satu orator aksi yang dilaksanakan di Bundaran Saronde Gorontalo.
Ari menjelaskan, dalam UU Cipta Kerja atau Omnibus Law itu banyak sekali kejanggalan, yang dibuktikan dengan narasi- narasi yang tidak masuk akal serta banyak sekali pengetikan yang keliru.
"Jika dilihat dari hasil draf UU itu, sangat terkesan terburu-buru, karena dalam UU itu, banyak yang salah ketik," ujarn Ari
Selain itu, kata Ari pihak meminta pemerintah harus menerapkan Pendidikan Gratis yang Ilmiah secara demokratis. RUJ Kekerasan Seksual harus disahkan menjadi UU.
"RUU Kekerasan Seksual itu lebih penting dari UUE Cipta Kerja atau Omnibus Law. Jadi kami minta RUU Kekerasan Seksual harus di sahkan," pungkasnya