Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Kronik Masa Pembentukan Kesultanan Gorontalo-Limboto dan Limboto-Gorontalo

Jumat, 04 Desember 2020 | 08:00 WITA Last Updated 2020-12-04T00:00:04Z

Peninggalan tertulis Gorontalo masa silam dimulai pada abad ke-11, sebagaimana ditilik berdasarkan manuskrif yang terdapat dalam catatan ''Buku Bangsa Limo Pohalaa''. Disampaing itu, ditopang oleh naskah sureq La Galigo sebagai catatan pendukung yang tercantum dalam epos tersebut. Bahwasanya fragmen bernuasa mitos itu menggambarkan kehadiran manusia untuk pertama kalinya di Pulau Sulawesi. Salah satu generasinya adalah Sawerigading bersama dengan saudara kembarnya yaitu Rawe atau We Tenriabeng. Kedua duanya terungkap di dalam naskah kuno peninggalan kerajaan Bulango, bahwa catatan manuskrif itu, tertoreh riwayat putri Boneulu berjumpa dengan lelaki Wolangodula.


Boneulu adalah ungkapan nama seorang wanita suku bangsa bugis yang disebut sebagai Rawe, sedangkan Wolangodula adalah anak seorang pengembara bernama Humalanggi yang datang dari gunung Kalabat. Secuil dikabarkan pada saat itu Gorontalo berada dalam pengaruh negeri Ware' (Luwu purba). Namun bukti tertulis yang dijumpai sangat sedikit jumlahnya, sehingga para ahli sejarah masih beranggapan bahwa sejarah Gorontalo dimulai sejak Wadipalapa berkuasa, atau bahkan hanya dimulai pada zaman penjajahan, yakni di era kolonialisme bangsa bangsa Eropa.


Sebelum bangsa Portugis datang di Gorontalo pada abad ke-15, di sekitarnya sudah berdiri kerajaan-kerajaan kecil yang bercorak animisme dan dipengaruhi oleh peradaban hindu. Kerajaan kerajaan kecil itu adalah suatu kaum di dalam kelompok kelompok terkecil yang dinamakan "Linula" atau koloni bagi penduduk setempat. Lantas sebahagian besar penduduknya ditemukan masih dalam keadaan alfur/Alifuru. Pola kehidupannya-pun diwarnai dengan berbagai keyakinan terhadap mistik, penganut dan percaya pada mitos.


Akan tetapi, kelak kemudian pada tahun 1525 sampai dengan 1560 masehi, agama islam mulai diperkenalkan kepada sebagian kecil masyarakat di lingkungan keluarga Raja Gorontalo. Alhasil, lambat laun islam berkembang pesat karena mendapat pengaruh yang kuat dari kesultanan Ternate. Hal itu dimulai sejak perkawinan Raja Gorontalo Amai dengan Boki Outango, yaitu seorang putri Kaicil Ternate yang berkuasa di kerajaan Tinombo/Palasa (Tomini). Kerajaan Tinombo/Palasa di era itu merupakan kerajaan kecil yang berafiliasi ke kerajaan Ternate.


Melihat kondisi seperti itu, beberapa bangsa asing melakukan penelusuran dan mencoba menginjakkan kakinya di daratan Gorontalo. Lalu kemudian membuka hutan untuk dijadikan lokasi pemukiman. Dimana rimba belantara yang luas sebagaimana wilayah bersejarah bagi perjalanan suku Gorontalo, hingga menjadi kerajaan kecil dan kuno pada abad 13 sampai memasuki permulaan abad ke 15 masehi. Dalam situasi seadanya wujud kerajaan itu sangat lambat mengalami perubahan oleh karena berbagai faktor, terutama jarak dan penduduknya yang masih sangat sedikit jumlahnya.


Sementara itu, perkembangan dan kemajuan masyarakat Gorontalo hanya dapat terealisasi atas kehadiran bangsa bangsa imperium, kendati harus berhadapan dengan berbagai tantangan atas penjajahan yang dialaminya. Sebab itu keseluruhan penduduknya berjuang selama tiga abad demi kemerdekaannya. Sungguh tidak mudah dicapai, namun tetapi, sesuatu yang terlalu sulit dan sangat menyengsarakan kala itu. Dan meski demikian harus dilakukan sebab hal itu menunjukkan upaya untuk mewujudkan persatuan Gorontalo, dalam bingkai Tuwawu U Duluwo Lo Limo Pohalaa sebagai semboyannya, dan itu merupakan resiko perjuangan yang harus dijawab dengan kinerja seluruh rakyat.


Didasari hal itu, kemudian mereka menyatukan persepsi guna membentuk ikatan dalam persekutuan Limo Pohalaa. Maka sejak itu, masing masing rumpun di wilayah kerajaan (Lo halaa) diwakili oleh seorang Raja atau delegasi kerajaan yang dipilih melalui petinggi petinggi komunitas adat kemudian segera mendirikan perserikatan itu.


Peran Serta Raja-Raja Ternate Terhadap Agama Islam Di Gorontalo dan Limboto


Dirujuk pada aspek sejarah, memang secara kesungguhan kerajaan Gorontalo di masa kekunoan tidak meninggalkan catatan penanggalan (kalender). Baik berberupa angka maupun dalam bentuk ungkapan melalui aksara. Tetapi dalam konteks religius dalam memori suku Gorontalo, sejak Raja Detu wafat, penduduknya dinyatakan telah meninggalkan animisme yang di bawa oleh kelompok Putri Rawe dan Humalanggi I. Lantas sebagai kepercayaan yang baru saja ditinggalkan kemudian diganti dengan islam, sejak Kolano Marhum berkuasa di Ternate.


Kekuasaan kolano Marhum dimulai pada 1465 dan berakhir pada tahun 1486 karena beliau mangkat. Maka selanjutnya Sultan Zainal Abidin menggantikan ayahandanya menduduki takhta kerajaan Ternate, terhitung mulai tahun 1486 s/d 1500 masehi. Yang mana kala itu islam mulai tersebar luas di Maluku atas usaha usaha yang dilakukan oleh Kolano Marhum. Berikut kemudian diikuti oleh Sultan Zainal Abidin, islam justeru semakin berkembang diperkenalkan diluar dari kerajaan Ternate, sehingga tercium pula sampai di Gorontalo. Awalnya dipicu oleh orang-orang Limboto maupun Gorontalo yang melakukan hubungan kepada pihak Ternate karena terjadi permusuhan di antara mereka. Masing masing pihak berangkat kesana dan hendak meminta dukungan kepada Raja penguasa di Ternate, agar memperoleh bantuan pasukan tentara untuk menyerang lawan lawannya.


Oleh karena itu tiap tiap pihak yang mewakili Gorontalo maupun Limboto banyak memperoleh informasi tentang wilayah koalisi Ternate di sekitar teluk Tomini. Setelah wakil wakil Gorontalo pulang dan begitu pula utusan Limboto, bersamaan juga Raja Amai sudah kembali dari Palasa dan mengemukakan hasratnya setelah pertemuannya dengan Boki Outango disana. Sultan Amai akan mempersunting putri Outango yang telah menjanda. Lantas hal itu terealisasi sebagaimana persyaratan dalam mengawali hubungan perkawinan mereka, maka bentuk maharnya adalah diwajibkan menerima islam sebagai agama resmi di kerajaan Gorontalo.


Situasi dan Kondisi Kesultanan Gorontalo Maupun Limboto Pasca Reformasi


Selama 350 tahun masa penjajahan di Nusantara, tetapi Gorontalo adalah salah satu koloni Belanda hanya terhitung sejak tanggal 11 Mei 1677. Menyusul kurang lebih dua ratus tahun kemudian, tanah jajahan wilayah Gorontalo masuk dalam vasal konsesi V.O.C sebagai otoritas kerajaan Ternate. Yakni menjadi salah satu distrik bahagian dari wilayah Provinsi Hindia Belanda (1821-1898), Negeri kerajaan Belanda. Distrik ini diberinama Andagile setelah diperintah oleh wakil penguasa Belanda, Gubernur Robertus Pattbrudge.


Pada waktu yang sama ketika sedang berkecamuknya perang Gowa - V.O.C yang didukung oleh tentara kerajaan Belanda dan sekutunya pada tahun 1667, kondisi kerajaan Gorontalo ketika itu berada dalam masa pemerintahan Sultan Eyato. Dan Islam sebagai agama resmi di kerajaan selama kurang lebih dua ratus tahun kian dipatuhi syariatnya. Oleh itu juga yang akan membawa dan mengantarkan masyarakat limo pohalaa kepada satu tujuan kemerdekaan. Sebab perjuangan untuk menghadapi bangsa Belanda yang datang secara tiba tiba memaksakan kehendaknya akan mengambil alih kedaulatan rakyat, ditempa melalui konsep perjuangan dan dikaji melalui syariat syariat islam.


Tetapi langkah awal yang diambil saat itu adalah dengan cara terlebih dahulu melakukan reformasi sistem pemerintahan, dari kerajaan dengan sistim monarki absolut menjadi kesultanan. Meskipun hal ini sudah pernah dilakukan semasa Sultan Amai berkuasa. Dimana proses penyelenggaraan bernegeri tetap berlanjut menjadi sebuah kesultanan yang moderat (konstitusional). tetapi hal itu mulai dilaksanakan sesudah penyelenggaraan reformasi sistem tatanan pemerintahan di masa pemerintahan Sultan Eyato. Demikian pula pasca perjanjian damai Gorontalo dengan Limboto atas prakarsa Sultan Eyato dan Jegugu Popa. Maka Gorontalo maupun Limboto yang telah menempuh kesepakatan berdamai sehingga usaha konsolidasi seluruh masyarakat limo pohalaa menuju kemerdekaan yang direncanakan dan bebas dari represi Belanda, secara perlahan lahan akan diselesaikan. Tetapi hal ini tercium oleh Belanda kemudian pihaknya bersiasat melakukan taktik penangkapan melalui cara perangkap. Selanjutnya melakukan bujukan dengan dalih negosiasi kepada Sultan Gorontalo Eyato selaku raja di atas/di hulu (To Tilayo).


Perang Melawan Ternate dan Belanda


Sultan Eyato, selaku Raja Gorontalo di atas/hulu (To Tilayo) memerintah pada tahun 1673 hingga tahun 1679. Di masa pemerintahannya terjadi dua kali peperangan, yaitu pada tahun 1674 melawan kerajaan Ternate yang dibantu oleh Belanda dan pada tahun 1677 melawan tentara Belanda. Perlawanan rakyat pertama kali dikobarkan penyebabnya adalah karena tindakan diskriminasi yang dilakukan oleh Otoritas Ternate pada saat raja Gorontalo maupun Limboto diminta untuk membantu bangsa Belanda melakukan penyebaran agama kristen protestan. Kemudian berikutnya pertempuran yang ke dua melawan tentara Belanda karena desakan atas kebijakan V.O.C yang berambisi ingin menguasai Gorontalo.


Tetapi hal itu mendapat penolakan dari Sultan Eyato dan Sultan Biya yang saling mendukung bersama sama menentang Belanda. Beberapa surat peringatan yang sampaikan oleh utusan Gubernur Robertus Padtbrudge tidak diindahkan oleh Eyato, sebab kelak akan merugikan rakyat. Sehingga itu tentara Belanda masuk ke perairan sungai Bone untuk melakukan gempuran terhadap tentara kerajaan yang sedang berlindung di Benteng Padengo.


Pertempuran atas perlawanan rakyat agak seimbang, lalu kemudian tentara tentara bawaan V.O.C menyiasati peperangan itu. Hasilnya, Raja Eyato ditangkap oleh tentara kerajaan Belanda saat diundang berunding di atas armada laut yang berlabuh di sungai Bone, kemudian beliau diasingkan ke Ceylon. V.O.C sengaja mengasingkan Sultan Eyato dengan maksud agar perlawanan rakyat tidak dapat terkoodinasi lagi. Sebab hal itu merupakan kewenangan pusat pemerintahan kerajaan Belanda, pada saat itu berkedudukan di kota Rotterdam.


Gorontalo sempat unggul pada awal pertempuran, padahal melihat kompleksitas persoalan yang dihadapi dan terjadi di kesultanan Gorontalo saat itu adalah, takhta pada kedudukan Raja hilir Gorontalo sedang mengalami pergantian kekuasaan. Raja Gorontalo di bawah (hilir) Putri Tiduhula digantikan oleh Sultan Biya, sehingga apa yang bakal direncanakan dalam program kerja kesultanan Gorontalo akhirnya tertuju kepada semata mata hanya berperang melawan imperialisme Belanda. Dan dengan demikian akhirnya Raja hilir Gorontalo yakni Sultan Biya, tertangkap juga dan diasingkan pula di Ceylon.


Penulis: Maman Ntoma (Sejarawan)

×
Berita Terbaru Update