"Prostitusi (tempat pelacuran), judi, dan semacamnya itu bejat. Dan ini jelas keterangannya dalam teks suci" Ujar kawan saya. Barangkali kalimat ini ada benarnya. Namun kebenaran tak mesti terjustifikasi dalam satu sudut pandang. Kebenaran mestinya perlu klarifikasi guna terus mendalami secara kolektif atas berbagai pristiwa. Ini penting. Artinya, jika prostitusi dan judi terwajahkan sebagai kebejatan yang mutlak, apa iya hal tersebut bakal terus-terusan kita jauhi. Atau bahkan kita juga perlu membatasi diri dengan pelakunya. Barangkali ini yang cukup penting untuk kita urai.
Sekali lagi, jika prostitusi dan judi termakna-artikan sebagai suatu kebejatan yang perlu dihindari, bagaimana dengan Gus Miek? Sosok Kiai kontroversial asal Ploso kediri ini fenomenal dan unik. Model kerja dakwah beliau hampir diluar cara-cara kiai pada umum. Iya, beliau sering berdakwah ditempat perjudian, pelacuran, dan tempat-tempat bermaksiat lainnya. Pertanyaannya, apakah yang dilakukan Gus Miek salah? Tunggu dulu. Perlu kita telaah searif mungkin. Bagi Gus Miek, sederhana. "Saya sedang dakwah ke manusia." Ujar Gus Miek di beberapa kesempatan. Logis, meskipun mereka penjudi, pelacur, apakah mereka bukan manusia? Jelas manusia. Inilah pentingnya melihat tiap hal secara mendalam. Lebih esensial dari itu pula, jika dakwah ke mereka dianggap suatu yang salah, maka pertanyaannya, lalu siapa yang akan menyampaikan kebenaran ke mereka? Menyampaikan esensi agama ke mereka? Ini menarik.
Jadi begini, jika berdakwah kepada orang-orang yang sudah memiliki dasar agama, pun kepada mereka yang sudah memiliki pemahaman agama dan moral yang baik, pasti lebih mudah. Lalu bandingkan bagaimana sulitnya berdakwah ke penjudi dan pelacur. Uraian yang begini ini mestinya terus kita jabarkan pelan-pelan. Sehingga diantara kita terus mampu meletakkan diluar kita sebagai bagian dari media kita belajar dan mengajari diri sendiri.
Masyhur, dalam berdakwah Gus Miek sangat proaktif mendekati mereka. Lazim, beliau yang mendatangi mereka. Tidak memprioritaskan mereka untuk datang ke Gus Miek, meskipun sesekali ada yang mendatangi belio. Sering pula Gus Miek terlihat bercampur dengan penjudi, bahkan ikut berjudi. Justru disaat-saat seperti itulah dibutuhkan kemampuan, keilmuan dan iman yang kuat. Beginilah mestinya esensi dakwah dan keberagamaan. Nah, Hal ini pula yang mesti kuat tertanam dalam diri bahwa mestinya kita meletakkan tiap ciptaan, utamanya manusia sebagai bagian dari bagaimana kita mengagungkan penciptanya. Melalui ini lah pasti tumbuh rasa kehati-hatian untuk tak gampang membatasi diri dengan berbagai ciptaan.
Dalam konsep dakwah Gus Miek yang demikian, bukan berarti tak beresiko, tingkat kesulitan dan godaannya pun lebih berat. Sekali lagi, sebab berdakwah ke penjudi dan pelacur. Mengapa demikian? Keberadaan para penjudi itu rata-rata bukan orang yang tak berduit. Hanya saja kebetulan dan tertakdir 'judi' termasuk hoby buruk yang memang sulit dihilangkan. Justru dalam ruang ini lah kemudian, dakwah untuk menyampaikan nilai-nilai keagamaan sangat diperlukan hadirnya.
Jika sudut pandang kita begini, pun cara mengurainya, ketika Gus Dur konsisten membela kemanusiaan melalu caranya, dan Gus Miek membela kemanusian--khususnya kepada penjudi dan pelacur dengan cara beliau, apakah salah? Tentu sangat tidak salah.
Bagi orang islam, utamaya kita sekalian, yang tak cukup paham dengan tujuan dan bagaimana cara Gus Miek, wajar berbeda pandangan, dan itu tidak masalah. Namun sebaiknya tetap berprasangka baik, dan demikian jauh lebih penting.
Dari beberapa gambaran-gambaran singkat ini, rupanya banyak sekali fakta realitas yang cenderung menstimulus kita agar terus menempa berbagai kejadian agar mampu dilihat secara jurnih. Penting pula memastikan suatu maksud, lengkap dengan cara-caranya. Termasuk pula meletakkan tiap siapapun sebagai yang memiliki kesempatan berbenah. Diantara kita tentu terbatas atas kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi. Yang baik hari ini belum tentu besok demikian, pun yang saat ini buruk belum tentu pula esok di posisi yang sama. Sekali lagi, tiap siapapun memiliki kesempatan dan kemungkinan-kemungkinan berbenah diri.
Dengan mendudukkan tiap ciptaan sedemikian rupa, barangkali diantara kita bakal terus terbentuk menjadi pribadi yang mengedepankan kemanusiaan diatas segalanya. Dengan tak gampang mempersalahkan dan mampu menerima siapapun dengan penghargaan, penerimaan, dan pelayanan sebagaimana penciptanya (Tuhan) telah merawat dan menghidupi semuanya.
Padepokan Nyai Surti, 27 Oktober 2020
Penulis: Arif Muhammad